Monday, October 19, 2015

Nelayan Belum Dapat Rasakan Perubahan Satu Tahun Jokowi-JK

BANDARCAPSA   -  Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, dirasakan belum memberikan perubahan berarti bagi sejumlah nelayan.

Muhammad Tahir (43), seorang nelayan tradisional asal Muara Angke, Jakarta Utara mengaku belum dapat merasakan perubahan apapun dalam satu tahun pemerintahan Jokowi - JK saat mereka menjabat sebagi presiden dan wakil presiden.
Menurut Tahir, beberapa kebijakan pemerintah dinilai setengah hati dan tidak dijalankan dengan maksimal.
Misalnya, kata Tahir, beberapa bulan lalu, dirinya dan nelayan lainnya mendapatkan bantuan berupa jaring oleh pemerintah.
Namun, sayangnya, jaring tersebut tidak terpakai dan kembali dijual oleh para nelayan yang berada di Muara Angke.
"Kan akhirnya mubazir. Mereka kasih bantuan, tapi tidak tahu masalahnya apa?," ujarnya di Kantor Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Jakarta, Senin (19/10/2015).

Nelayan Belum Dapat Rasakan Perubahan Satu Tahun Jokowi-JK




Sedangkan kondisi di Utara Jakarta tersebut, menurutnya, saat ini sedang membutuhkan dermaga untuk kapal nelayan tradisional bersandar. Pasalnya, para nelayan harus menyandarkan kapal-kapal mereka di muara sungai-sungai besar di Jakarta.
Permasalahan berikutnya yang juga tidak diselesaikan, yaitu, datang dari persoalan perizinan yang terlalu rumit untuk sekedar melaut di daerah perbatasan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Bukan hanya DKI, Tahir menuturkan, banyak nelayan asal daerah yang pindah ke Jakarta untuk melaut juga tidak kunjung mendapatkan izin.
Padahal, jika hasil tangkapan ikan di daerah tertentu sedang banyak, maka mereka akan saling mengirim untuk memenuhi kebutuhan nelayan.
"Kalau di Jepara sedang banyak ikan, terus di Jakarta lagi kosong, mereka ya kirim ke kami di Jakarta, biar ada stok," tuturnya.
Belum lagi, kata Tahir, persoalan kapal besar milik asing yang masih dapat berseliweran di daerah teluk Jakarta dan menangkap ikan sebanyak-banyaknya.
Sehingga berimbas kepada mereka nelayan kecil yang berada di lokasi yang sama dan harus menyerah dengan keadaan.
Paling parah, ungkap Tahir, pemerintah daerah saat ini memberikan lahan kepada pengusaha-pengusaha besar untuk masuk ke Muara Angke dan melakukan pelelangan di tempat yang seharusnya dimiliki oleh nelayan setempat.
Dirinya, mengatakan bahwa saat para nelayan pindah dari pesisir menuju Rusun Muara Angke, tempat tinggal sebelumnya, seharusnya dapat dijadikan sebagai lokasi mereka berdagang hasil tangkapan, namun hak tersebut tidak terjadi lantaran terlalu banyak oknum yang bermain di sektor tersebut.
"Satu pengusaha itu ada yang punya 30 lapak pelelangan sekaligus. Minimal pengusaha kaya itu punya 10 lapak di Muara Angke. Sedangkan kami yang asli dari sana, hanya bisa ngontrak," tambahnya.
Padahal menurut Tahir, seyogyanya para nelayan dapat menjual hasil tangkapan mereka sendiri tanpa harus dibeli terlebih dahulu oleh tengkulak tersebut. Karena menurutnya, jika tangkapan sedang sedikit, tengkulak tersebut membeli dengan harga standar.
Tapi jika tangkapan sedang banyak, harga akan jauh berkurang.
"Tapi kalau mau masuk pasar, sebenernya harganya ya standar aja. Enggak ada yang kurang, jadi mereka untung besar," ungkap Tahir.
Masalah Klasik
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik mengatakan bahwa keseluruhan masalah tersebut merupakan masalah klasik yang seharusnya sudah dapat dipetakan oleh pemerintahan Jokowi-JK, mengingat pada debat calon presiden, mereka membawa isu tersebut ke permukaan.
"Tapi faktanya sekarang masih ada. Bahkan di Jakarta sekalipun yang dekat dengan pemerintah pusat," kata Riza.
Riza menambahkan bahwa hal penting yang tidak diperhatikan pemerintah adalah persoalan BBM Solar yang seharusnya mudah didapatkan oleh para nelayan. Dalam pantauannya di daerah Cilincing dan juga Muara Angke, Jakarta, pihaknya melihat masih cukup sulitnya nelayan mendapatkan solar untuk kebutuhan melaut.
Hal tersebut diamini oleh Tahir. Setidaknya, dirinya dan ratusan nelayan lainnya, harus mendapatkan solar subsidi dengan harga di atas rata-rata harga biasa untuk truk atau kendaraan lain yang juga memakai solar.
"Saya harus membeli solar hingga Rp. 12.000 per liter di stasiun pengisian bahan bakar milik swasta, sedangkan milik pemerintah, saya harus melewati tiga pos untuk membeli bahan bakar dengan memberikan uang kepada masing-masing pos sebesar Rp. 30.000," ungkapnya.
Sementara, para nelayan setidaknya harus memakai 40 liter solar setiap harinya untuk melaut dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Serta, pembelian hanya dapat dilakukan melalui ketua kelompok nelayan saja. Tidak dapat dibeli langsung oleh nelayan.
Dalam waktu bersamaan, analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Dani Setiawan mengatakan bahwa seharusnya pemerintah dapat menanggulangi permasalahan tersebut secara cepat, karena menurutnya, permasalahan di sektor kemaritiman tidak serumit sektor lainnya.
"Bedanya dengan perkebunan dan pertanian, kan sektor maritim memakai media laut bukan media tanah yang diperjualbelikan dari pemerintah ke pihak lain, jadi tidak ada yang sulit sebenarnya," ujarnya.
Selain itu, dalam sektor kemaritiman, banyak hal yang dapat digali dan dimanfaatkan. Contohnya, pembudidayaan ikan laut, atau hasil laut lainnya. Sehingga ada banyak aspek yang nantinya akan terbangun.





No comments:

Post a Comment